Proud to call myself 'master of public transportation'. Bukan secara teoritis, tapi karena memang kerjanya naek turun angkutan umum: ya di Amerika, Australia, Eropa, apalagi Indonesia, karena nggak punya kendaraan pribadi (ketauan kalo gembel...he-he-he).
Namanya penumpang, yang diharapin dari angkutan umum, nomor satu adalah 'safety', selamat diperjalanan, selamat sampe tujuan. Nggak ada yang mau 'overshooting' di landasan lalu terbakar kayak garuda tempo hari http://www.kompas.com/ver1/Nasional/0703/07/075225.htm ; nggak ada yang mau celaka di jalan entah karena instrumen kendaraan nggak berfungsi atau driver (termasuk pilot) lagi be-te. Pernah baca pesawat Singapore Airlines nabrak pagar beton dan peralatan berat di bandara Taipei karena takeoff di runway yang salah-yang belum selesai dibangun- ditengah badai http://archives.cnn.com/2000/ASIANOW/east/11/02/taiwan.crash.01/index.html
Itu kecelakaan terburuk (pertama maksudnya?) dalam 28 tahun Singapore Airlines beroperasi. Ada lagi cerita co pilot EgyptAir sengaja mematikan mesin pesawat dan automated pilot sehingga seisi pesawat nyebur kelaut http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=9C0CE3D91E38F931A15750C0A9649C8B63&sec=&spon=&pagewanted=all.
Penumpang bayar bukan untuk celaka (dicelaka-in orang lagi)... Sayangnya masalah keamanan ini diluar kendali penumpang. Sangat ditentukan oleh 'the person behind the wheel': siapa pengemudinya. Kalo angkutan umum taxi apalagi di jakarta, masalah 'selamat' adalah fungsi dari 'skill pengemudi' dan 'niat pengemudi'. Sering baca penumpang dirampok karena taxi driver berprofesi ganda sebagai rampok.
Setelah safety, urutan berikutnya adalah 'nyaman': mulai dari kebersihan, rapi, penumpang nggak berjejal sehingga punya space yang cukup.Kenyamanan menurutku ditentukan sistem/aturan pengelola armada. Naek pesawat walau mahal, nggak jaminan kabin pesawat (termasuk toiletnya) bersih dan rapi. Kadang passengers' seats aja cacat, kali2 karena pesawatnya beli bekas dan manajer operasi berprinsip: pokoknya asal waktu take off itu kursi nggak mencelat sama penumpangnya...he-he-he... Pernah naek taxi Primkopau (namanya itu kalo nggak salah) di Husein Sastranegara Bandung. Taxinya sih taxi resmi (pesen di counter di dalam bandara), tapi...amit-amit.... Masih mending lah tu mobil joknya 'mirip' jok mobil, bukan digelarin tikar sekalian... Kupikir taxi resmi bandara kok macam gini? Kayaknya kalo mau taxi yang mendingan, musti ambil diluar, dan musti menyediakan diri untuk dipalak ama sopir taxi... Di bandara jogja, taxi bandara dimonopoli Rajawali-punya AU. Mobil lumayan bagus,reasonable, tapi nggak pake argo, bayar berdasar jarak (kayak di bandara Bandung). Diitung-itung sih selisih sekitar 5rb lebih mahal dibanding kalo pake argo. Tapi kadang mereka kekurangan armada, apalagi kalo pas banyak penumpang. Udah gitu, pengelolanya nggak cepet inisiatif buka kesempatan taxi non Rajawali untuk masuk angkut penumpang. Ada tip dari pengemudi taxi: kalo liat calon penumpang Rajawali banyak, armada sedikit, jalan aja ke terminal kedatangan, lalu telpon taxi dan tunggu disitu. Katanya bisa lebih cepet daripada ngantri Rajawali, tentu saja kalo tau nomor telp taxi jogja. Kalo enggak ya...musti tanya2 dulu ke 108... Taxi Vetri-taxi bagus- setauku biasa'ngetem' diluar bandara nunggu penumpang.
Paling sebel kalo naek angkutan umum (mobil) yang kotor karena penumpang sebelumnya nyampah. Pernah naek mobil cipaganti, wah, asal ada celah pasti ngeliat bungkus permen. Mungkin karena driver nggak sempat bersih2, musti segera jalan. Mobil cipaganti bandara biasanya pake tirai (nggak tau yang shuttle pake enggak). Rata2 tirainya bersih (at least, it 'looks' clean...) tapi pernah suatu kali naek mobil Cipaganti tirainya dekil kayak serbet dapur... Bersih2 mobil travel jadi tanggungan siapa sih? Apa tanggung jawab driver juga? Lha kalo drivernya lagi be-te, boro2 mikirin rapi and bersih ya? liat sampah dan dekil2 adem aja...(pikirnya kali2: keuangan kita aja jadi acakadut-istilah panji koming-minta lagi bersih2...he-he-he...)
Masalah 'tepat waktu' mungkin bisa dimasukan sbg salah satu komponen 'comfy'. Soalnya angkutan umum berangkat/datang tepat waktu atau tidak, ditentukan oleh operasional perusahaan. Penerbangan mungkin punya masalah yang agak beda, karena faktor cuaca bisa mempengaruhi ketepatan waktu takeoff dan landing. Garuda dari jakarta ke jogja bisa tertunda 1 jam (walau udah siap di landasan pacu) kalau hujan. Merpati dari jogja ke bandung bisa tertunda keberangkatan selama 45 menit (padahal waktu tempuh cuma 35 menit) kalau pada saat jam berangkat bandung hujan deras. Tapi selain faktor cuaca, kayaknya nggak ada excuse untuk nunda keberangkatan-apalagi kalau alasannya 'teknis' (apalagi kalo pake 'dikibulin' kru pesawat spt tempo hari...S*E*B*E*L!!). Alasan teknis, alasan paling nyebelin karena mengada-ada, a good way to show they are not professionals: apa tiba2 ada baut yang lepas? bukan mustinya udah dicek laik terbang apa enggak? Makin nyebelin kalao penerbangan ditunda (penumpang udah di ruang tunggu tapi pesawat nggak datang juga), tapi nggak ada yang kasi pengumuman: kapan bisa berangkat, kenapa ditunda, dan yang lebih penting lagi 'solusi'. Soalnya penundaan keberangkatan berarti mengacaukan jadual/acara penumpang. Kalau ditunda gara2 teknis, kan penumpang musti dikasih 'kompensasi' misal dicarikan airlines lain, carikan seat dipenerbangan berikutnya, dst.
So far kalau naek Cipaganti dari BTC Bandung ke bandara Soekarno Hatta selalu tepat waktu, paling2 lebih beberapa menit-dikit. Tapi dari bandara Jakarta ke Bandung, pernah baru berangkat jam 830. Payah... Katanya paling pagi dari Bandara jam 8...udah gitu valet nggak bisa kasih penjelasan kenapa, ada apa...(what can you expect from them? i think they are just like those at cipaganti call centre: bukan pegawai tetap, in between jobs-ambil pekerjaan itu sbg pekerjaan sementara sblm dapat pekerjaan yang lebih baik....). Kalo udah telat gitu kagak ada yang ngributin 'pentingnya konfirmasi ke M1'; konfirmasi doesnot make any difference..mau telat telat aja... Tapi giliran kita mau naek mobil yang lebih pagi-karena udah dateng-berisik bener tu valet nanya2 konfirmasi...Dasar mindless!
Setelah safety, comfy, lalu hospitality. Namanya angkutan umum, bukan carter, menurutku sih asal kru nggak kasar macam preman mabok, itu udah ok. Kalo ngarepin di'pamper' carter mobil (cari pengemudi yang pake tuxedo sekalian), atau carter pesawat. Dan biar naek pesawat lebih mahal dari angkutan darat, cabin crew pesawat lebih rapi berdandan, pendidikan lebih tinggi dari driver (taxi or travel) untuk soal 'hospitality' belum tentu awak kabin lebih santun (ramah&sopan) dari driver. Pernah baca dikoran, cabin crew garuda bentak2 penumpang hanya gara2 penumpang naruh bawaan di compartment sisi kanan dan kiri. Ada lagi pilot Lion Air yang bilang gini:'penumpang yang tidak mau terima dengan kondisi pesawat silakan turun' http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/02/opini/3965827.htm (heran juga kok pilot bisa omong gitu, apa penumpang ama pilot bertengkar di kabin pesawat?). Mungkin pilotnya lagi kesel sama perusahaan tapi nggak bisa demo...he-he-he...
BTW: Kalo googling 'Lion Air' lewat kompas.com dapat berderet keluhan penumpang: mulai dari penerbangan ditunda dan nggak jelas berangkatnya, bagasi/barang penumpang hilang, ground crews yang nggak bisa kasih penjelasan/layanan ttg free of charge baggage, calo tiket...(seyem skaleee)